Al – Ahkam
Al – Khamsah
Al Ahkam Al Khamsah atau biasa disebut Hukum
Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang
dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak,
kewajiban maupun larangan.
- Wajib. ( الواجب )
Wajib secara bahasa
: ( الساقط واللازم ) "yang jatuh
dan harus".
Dan secara istilah
: ما َأمر بِهِ ال شارِع علَى وجهِ اْلإِلْزامِ
"Apa-apa yang
diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan",
wajib (fardhu) dalam hukum islam yakni sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah kepada manusia mukallaf untuk mengerjakannya. Jika tidak dilaksanakan,
dia akan berdosa dan jika dilaksanakan mendapat pahala.
Seperti shalat fardhu, puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, haji dan lainnya. Wajib ini menunjukkan perintah yang tetap.
Seperti shalat fardhu, puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, haji dan lainnya. Wajib ini menunjukkan perintah yang tetap.
Sesuai firman Allah :
فأقيمواالصلاة إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتافأقيمواالصلاة إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا
“.....maka dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nisa : 103).
Ayat di atas menjelaskan bahawa solat dan zakat itu adalah WAJIB karena ia
satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) yaitu berdasarkan dalil qat'i,
al-Quran al-Kariim. Para ulama' mazhab Hanafi membedakan di antara wajib dan
fardhu. Jika tuntutan supaya melakukan sesuatu dalam bentuk pasti (jazmun)
berdasarkan al-Quran dan Hadis Mutawatir, maka ia dinamakan FARDHU. Jika
berdasarkan dalil-dalil lain, selain al-Quran dan Hadis, maka ia dinamakan
WAJIB. Contohnya, membaca mana-mana surah dalam solat adalah FARDHU kerana ia
berdasarkan dalil qat'i iaitu al-Quran. Sementara membaca surah al-Fatihah pula
adalah WAJIB kerana ia berdasarkan dalil HADIS AHAD.
Macam-macam Wajib :
ü Wajib Mu’ayin
(Mukhaddat) : hukum yang sudah jelas dan tentu aturan dan tata-caranya serta
seberapa besar kadar-nya, misal : Sholat,Zakat,dll
ü Wajib Ghoiru
Mukhaddat : hukum yang tidak jelas tata caranya dan seberapa besar jumlah dan
kadarnya, misal infaq, sodaqah, dll
ü Wajib Mukhoyir :
hukum yang harus memilih dari beberapa pilihan dan jika sudah terpilh dan
dilaksanakan maka yang lain dianggap hilang.
ü Wajib Mudloyaq
(Muaqqot) : hukum yang sudah jelas syariatnya (hampir sama dengan Mu’ayin)
hanya disini berdasarkan aturan pelaksanaan, misal : jadwal sholat, jadwal
puasa.
ü Wajib Mutlak :
hukum yang aturan pelaksaannya tidak
ditentukan dengan pasti,tapi wajib dikerjakan seperti : naik haji
ü Wajib Yunaqqis :
hukum yang mengatur aturan syariat bagi yang berhalangan melaksanakan
kewajiban, misal wanita haid yang wajib melaksanakan sholat setelah haid berhenti
secara langsung, misal ashar jam 3 dan mahgrib jam 5.30, dan wanita haid
berhenti jam 5, maka sisa 30 menit adalah wajib sholat (wajib Yunaqqis).
ü Wajib Muwasi :
hukum yang mengatur kelebihan waktu, tapi tetap harus dikerjakan dalam kurun
waktu tersebut, misal waktu sholat ashar 2,5 jam tepatnya jam 3 hingga 5.30,
sedangkan lama sholat misalnya 20 menit, maka sisa 2,1 jam adalah wajib muwasi,
dimana toleransi waktu tersebut dikhususkan kepada kita yang sedang berhalangan
tanpa disengaja.
ü Wajib Ain : hukum
yang meng-khususkan siapa yang melaksanakannya, sesuai syariat misal sholat
jum’at adalah wajib buat kaum laki-laki, sunnah buat kaum perempuan.
ü Wajib Kifayah :
hukum yang tidak meng-khususkan siapa pelaksananya sesuai syariat dengan kata
lain wajib dilaksanakan untuk umum, misal memandikan jenazah, bila satu muslim
mengerjakan maka yang lain tidak wajib memandikan, namun bila tidak ada
satu-pun yang memandikan, maka semua penduduk menanggung dosa.
Wajib terbagi menjadi empat
macam yaitu :
A. Dari segi waktu
pelaksanaannya.
o
Wajib muthlaq (tidak terikat waktu)
o
Wajib muqayyad (terikat waktu)
B. Dari segi ketentuan
dari syari’.
o
Wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi)
o
Wajib ghairu muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi)
C. Dari segi tuntunan
penunaiannya.
o
Wajib ‘ain (wajib ‘ain)
o
Wajib kifai’ (wajib kifayah)
D. Dari segi sifatnya.
o
Wajib mu’ayyan (tertentu)
o
Wajib mukhayyar (pilihan)
2.
Sunnah
Sesuatu hal yang dikerjakan mendapat pahala namun jika
ditinggalkan akan mendapat apa-apa. seperti sholat sunnah, puasa senin-kamis,
infaq, dll. Kata Sunnah adalah salah satu kosa kata bahasa Arab سنة (sunnah). Secara bahasa, kata السنة (al-sunnah)
berarti السيرة حسنة كانت أو قبيحة (perjalanan
hidup yang baik atau yang buruk). Pengertian di atas didasarkan kepada Hadîts
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من
عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء. و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر
من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
(Ibn Manzhûr, …:…/716(
Artinya: ”Barangsiapa
membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang
yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Barang
siapa membuat sunnah yang buruk maka dia
akan memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Macam – macam Sunnah
- Sunnah Hadyi : yaitu hukum sunnah sebagai
penyempurna Hukum wajib. Orang yang meninggalkannya tidak mendapat
apa-apa. contoh adzan, sholat berjamah dan lain - lain.
- Sunnah Zaidah : yaitu hukum sunnah yang
dikerjakan sebagai sifat terpuji
bagi muslim, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan,
minum, tidur dll.
- Sunnah Nafal : yaitu hukum sunnah sebagai pelengkap
perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang
meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. seperti sholat sunnat.
o
Sunnah Muakad : yaitu hukum sunnah yang dianggap
mendekati hukum wajib, misal sholat tarawih, sholat idul fitri, sholat idul
adha.
o
Sunnah fadlilah : yaitu ketentuan hukum yang mengikuti
tradisi Nabi dari segi-segi tradisi budayanya, contohnya berpakaian putih, cara
makan, cara tidur Nabi, dll.
3. Haram. ( المحرم )
Haram secara bahasa : ( الممنوع ) "yang dilarang".
Dan secara istilah : ما نهى عنه ال شارِع علَى وجهِ اْلإِلْزامِ بِالتركِ
"Apa-apa yang dilarang oleh
pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan", seperti
durhaka kepada orang tua.
Adalah suatu tuntutan hukum islam kepada orang mukallaf untuk
meninggalkannya dengan tuntutan mengikat dan bagi yang meninggalkannya mendapat
imbalan pahala dan bagi yang melanggarnya mendapat dosa.
Haram dibagi dua yaitu :
o
Haram
li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut
terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr,
berzina, dll.
o
Haram
li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya
larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan
tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai
riba, melihat aurat wanita, dll.
4. Makruh. ( المكروه )
Makruh secara bahasa : ( المبغض ) "yang dimurkai"
Dan secara istilah : ما نهى عنه ال
شارِع لاَ علَى وجهِ اْلإِلْزامِ بِالتركِ
"Apa-apa yang dilarang oleh
pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan",
seperti mengambil sesuatu dengan tangan kiri dan memberi dengan tangan kiri.
Adalah suatu perkara
yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa
dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT. dalam buku Riyadh
as-Shalihin, yang ditulis oleh Imam Nawawi, dia mengemukakan contoh perkara
yang makruh, seperti :makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari
bawah bejana air, meniup minuman, beristinja' dengan tangan kanan, memegang
farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan dengan satu sandal,
bertengkar di masjid dan mengangkat suara di dalamnya, berbisik di masjid pada
hari Jumat ketika imam sedang berkhotbah, membesar-besarkan suara ketika
berbicara, mengucapkan doa, "Ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau
mau." "Kalau Allah dan Fulan menghendaki", berbincang-bincang setelah
makan malam yang paling akhir, shalat ketika makanan sudah dihidangkan, dll.
Makruh dibagi
menjadi dua yaitu :
a.
Makruh tahrimi. ialah perkara makruh yang lebih dekat
kepada haram.
b.
Makruh tanzihi. ialah yang lebih dekat kepada
halal.
5. Mubah. ( المباح )
Mubah secara bahasa : ( المعلن والمأذون فيه ) "yang
diumumkan dan diizinkan dengannya".
Dan
secara istilah : ( ما لاَ يتعلَّق بِهِ َأمر، ولاَ نهي لِذَاتِهِ )
"Apa-apa yang tidak berhubungan dengan
perintah dan larangan secara asalnya". Seperti makan pada malam hari
di bulan Romadhon.
Mubah adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf
tidak akan mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan minum, belanja, bercanda,
melamun, dan lain sebagainya.
Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syatibi dalam
kitab Muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam :
a.
Mubah yang
berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk
mengerjakan kewajiban shalat,dsb.
b.
Sesuatu
dianggap mubah hukumnya jika dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya jika
dilakukan setiap waktu. misalnya bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan
waktu hanya untuk bermain dan bermusik maka menjadi haram.
c.
Sesuatu
yang mubah yang berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yang mubah pula.
misalnya membeli perabot rumah tangga untuk kepentingan kesenangan.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan
menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah
(al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut
terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab
akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi
hukum wadh’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab
(al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya
sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), azimah atau
rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang al-shihhah, al-buthlan atau
al-fasid, al-‘azamah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum
tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’i. Akan tetapi sebaliknya,
sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari
hukum wadh’i. Adapun alasan mengapa rukhshah dan azimah bukan termasuk dalam
hukum wadh’i akan tetapi masuk dalam hukum taklifi adalah karena kedua hukum
tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidha) dalam hukum azimah dan
kebebasan memilih (takhyir) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang
menganggap bahwa azimah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’i dan
bukan termasuk dalam hukum taklifi mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya
adalah sifat yang dijadikan Syari’ sebagai sebab peringanan suatu hukum
syariat, sedangkan azimah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi
sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain
sebagainya. Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlan atau al-fasid
tidak termasuk dalam hukum wadh’i akan tetapi bagian dari hukum taklifi, yaitu
karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syari’ untuk
memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabi’ (barang yang
dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlan adalah keharaman memanfaatkan
sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabi’ jika akad jual beli batal atau
tidak sah.
Pembagian Hukum Wadh’i
1.
Sebab
Menurut
bahasa sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain
berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut
istilah sebab adalah sutatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya
hukum. Menurut ulamaushul, sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan
manusia. Pengertian ini menunjukkan sebab sama dengan illat. Artinya adalah
sesuatu yang dijadikan oleh Syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum.
Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan
tidak adanya hukum.
Contohnya: ﺲﻤﺸﻟاكﻮﻟﺪﻟةﻼﺼﻟاﻢﻗأ
Artinya: Dirikanlah
shalat, karena matahari tergelincir
Ayat tersebut
menjelaskan adanya sebab perbuatan mukallaf , dimana tergelincirnya matahari
menjadi sebab wajibnya shalat.
Pembagian sebab:
- Sebab yang bukan
merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun
demikian sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena
syari'at telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Misalnya tergelincirnya matahari
menjadi sebab (alas an) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awa
bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa ramadhan.
- Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam
batas kemampuannya. Misalnya perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya
berbuka puasa disiang hari di bulan ramadhan. Sebab yang merupakan
perbuatan mukallaf ini berlaku kepadanya ketentuan-ketentuan taklifi. Oleh
sebab itu, diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti
perintah melakukan akad nikah ketika khawatir akan terjadi perzinahan,
diantaranya seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman
hukuman, dan ada pula yang mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli
sebagai sebab bagi perpindahan milik dari penjual kepada pihak pembeli.
2. Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi
keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada maka hukum
pun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
Contoh: ﻢﻜهﻮﺟواﻮﻠﺴﻏﺎﻓةﻼﺼﻟاﻰﻟاﻢﺘﻤﻗاذا.......
Artinya ”Apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu….”(5:6)
Wudhu yang
dibicarakan ayat ini, menjadi “syarat” pelaksanaan shalat . Wudhu adalah salah
satu syarat sah sholat. Shalat tidak dapat dilakukan tanpa wudhu, tetapi jika
seorang berwudhu tidak harus melaksanakan shalat.
Pembagian Syarat.
- Syarat Hakiki (syar’i). yaitu segala pekerjaan yang
diperintahkan sebelum mengerjakan yang lain, dan pekerjaan itu tidak
diterima (sah) apabila pekerjaan yang pertama belum dilakukan.
- Syarat untuk menyempurnakan sebab. contoh adanya
dua saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad nikah yang menjadi
sebab halalnya ijma’.
- Syarat untuk menyempurnakan musabab. contohnya
bersuci adalah syarat penyempurna shalat yang wajib, disebabkan telah
masuknya waktu shalat.
- Syarat Ja’li. yaitu segala syarat yang dibuat oleh
orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya
serta terwujudnya transaksi tersebut. contohnya seorang pembeli membuat
syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang dengan cara kredit. Bila syarat
itu diterima maka jual-beli dapat dilakukan.
3. Penghalang (mani’)
Yaitu sifat yang
nyata yang keberadaannya menyebabkan ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya,
hubungan suami isteri dan hubungan kekerabatan menyebabkan mendapatkan
pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan
pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila
anak atau isteri membunuh suami atau ayah yang mewarisi harta tersebut. (HR.
Bukhari dan Muslim). Kata mani' secara etimologi berarti "penghalang dari
sesuatu". Secara terminologi, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidani, kata mani' berarti: Sesuatu yang ditetapkan sebagai penghalang bagi
adanya hukum atau penghalang bagi hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu
sebab. Sebuah akad missalnya, dianggap sah bilamana telah mencukupi
syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak
terdapat padanya suatu penghalang (mani'). Misalnya akad perkawinan yang sah karena
telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi
masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah
membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani'
(penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrnya.
Pembagian mani'
- Mani' al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haidh bagi wanita
ditetapkan Allah sebagai mani' (penghalang) bagi kecakapan wanita itu
untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib
dilakukannya waktu haidh.
Dari Aisyah sesungguhnya ada seorang wanita yang bertanya mengqodho shalat,
Aisyah berkata: "anda terbebas, sebab dulu dimasa Nabi SAW kami pernah haidh dan setelah suci
beliau tidak menyuruh mengqodho shalat". (HR. ibnu Majah)
- Mani' al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan
syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan bahwa sampainya harta minimal
satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena
pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam
keadaan berutang dimana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya
dari satu nishab maka dalam kajian fiqh keadaaan berutang itu manjadi
mani' (penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam
hal ini keadaan seeorang dalam berutang itu, telah menghilangkan kewajiban zakat harta. ( Efendi Satria, 2005
: 66 - 67)